Kantong Plastik Rp 200: Kebijakan Sampah dari Rezim Sampah, memalak dan membebani Rakyat!
#Kebijakan Sampah dari Rezim Sampah : memalak dan membebani Rakyat!
Sore tadi saya belanja ke salah satu toko ritel, di meja kasir tertulis program Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) untuk pengendalian sampah. Customer diminta untuk membawa kantong atau tas belanja sendiri untuk membawa barang belanjaan, atau jika tetap menggunakan plastik yang disediakan toko ritel, customer dibebankan biaya (baca: japrem) sebesar Rp.200,-/kantong plastik.
Persoalannya bukan pada nilai yang cuma 200 perak, tetapi pada pendzaliman yang dilakukan penguasa melalui penerapan kebijakan (baca: ketidakbijaksanaan) pungutan pengganti kantong plastik.
Dengan kebijakan ini, Pemerintah berdalih diharapkan dapat mendorong pengendalian sampah, dimana perilaku customer akan diarahkan melakukan tindakan yang "ramah lingkungan" sekaligus efisien. Jika sekali belanja, menggunakan atau 4 kantong, sudah ada Alokasi ABRT (anggaran belanja rumah tangga) sebesar 800 rupiah. Jika Trend belanja seminggu minimal 4 kali, maka per bulan akan ada tambahan sebesar 400X4X4= Rp. 6.200,-.
Bagi Pemerintah, perilaku konsumen dalam kondisi apapun tetap menguntungkan. Pertama, jika dengan alasan efisiensi konsumen mau repot bawa tas belanja, sehingga menekan penggunaan kantong plastik, maka ini akan mendorong suksesnya pengendalian sampah plastik sehingga ramah lingkungan. Kedua, jika konsumen karena tidak mau repot -toh hanya 200 perak- kemudian perilaku belanja tetap menggunakan kantong plastik, maka negara akan memperoleh tambahan anggaran dari kompensasi penggunaan kantong plastik untuk mensukseskan program ramah lingkungan.
Dan pada akhirnya, kondisi kedua yg akan terjadi dimana pada akhirnya rakyat (baca: customer) menyerah pada kebijakan tersebut dengan terpaksa membayar japrem yang besarnya Rp. 200 / kantong.
Kasus ini mirip dengan kebijakan pungutan untuk dana Ketahanan energi, yang pernah di gulirkan kementrian ESDM yg akhirnya batal karena ditentang banyak pihak.
Kebijakan yang Dzalim
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan sampah plastik berkurang hingga 1,9 ton dalam setahun melalui pelaksanaan kantong berbayar. Uji coba pelaksanaan program tersebut dilaksanakan serentak di 22 kota di Indonesia mulai 21 Februari 2016 yang bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional," kata Kepala Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK Sudirman seperti dikutip Antara, Sabtu (20/2/2016). Menurutnya produksi sampah nasional dalam setahun mencapai 64 juta ton berasal dari berbagai jenis. Sekitar 14% diantaranya merupakan sampah plastik yang beratnya setara dengan 8,9 juta ton. Pengurangan sampah plastik di klaim sejalan dengan Recana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pemerintah terkait pengurangan sampah nasional sekitar 11% pada tahun 2016.
Data-data yang disajikan seperti menjadi argumen kokoh untuk menetapkan pengaturan dan kebijakan, termasuk dalam hal penetapan pungutan pada pengguna kantong plastik.
Namun, jika dikaitkan dengan komponen penyumbang kerusakan lingkungan terbesar, Sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia ternyata lebih disebabkan oleh operasi pertambangan (kompas.com). Komponen yang lain yang tidak kalah besar sebagai penyumbang kerusakan lingkungan adalah pencemaran hutan.
Kasus-kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan baik dengan ijin atau liar, termasuk pencemaran hutan akibat kebakaran hutan atau yang selainnya tidak mendapatkan proporsi yang cukup untuk diambil tindakan dan sanksi tegas kepada pelanggarnya. Sebagaimana diketahui, belum lama ini kasus kebakaran hutan di Palembang divonis bebas hanya dengan dalih kebakaran hutan tidak merusak lingkungan karena masih dapat ditanami kembali. Sementara Seorang nenek di Situbondo bernama Asyani yang mengambil kayu bakar dihutan di vonis bersalah dan dihukum satu tahun penjara. Begitu juga kerusakan lingkungan akibat pertambangan. Kasusnya tidak terhitung lagi jumlahnya.
Namun penguasa seperti tidak memiliki nyali untuk menghukum dan memberi sanksi tegas kepada perusak lingkungan dari kalangan pejabat dan pengusaha, meskipun kerusakan yang ditimbulkan luar biasa besar dampaknya. Kepada rakyat kecil, penguasa bertindak tegas dan tega tanpa rasa bersalah menetapkan pungutan-pungutan yang semakin membebani hidup rakyat.
Kembali kepada syariat Islam, solusi tuntas mengelola urusan umat
Susungguhnya seorang pemimpin itu ibarat perisai yang melindungi rakyatnya. Kebijakan yang keluar harus dapat mengayomi sekaligus melindungi rakyat, selain mewujudkan pula kemaslahatan bersama. Syariah tidak pernah membiarkan tindakan seorang pemimpin yang Dzalim, dimana kebijakannya membebani rakyatnya.
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat ‘adzab yang pedih” [QS. Asy-Syuuraa : 42].
Secara khusus Rasulullah SAW pernah berdoa :
”Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia” [Diriwayatkan oleh Muslim].
Dalam konteks pengelolan sampah untuk melakukan pengendalian lingkungan hidup, seyogyanya penguasa mengeluarkan peraturan dan kebijakan yang benar-benar mencerminkan keadilan. Rakyat kecil yang sudah susah, tidak layak untuk dibebani berbagai pungutan dengan berbagai alasan.
Jika substansinya adalah pengendalian sampah plastik, seharusnya Pemerintah yang menyiapkan sarana sampah dengan teknologi tertentu yang dapat terurai dan tidak mencemari lingkungan, kemudian disediakan untuk rakyat di setiap toko ritel atau pasar umum, sehingga customer yang berbelanja tidak membawa tas belanja dapat menggunakan fasilitas kantong plastik ramah lingkungan yang telah disediakan.
Untuk anggaran pengendalian sampah, tidak layak pula dibebankan kepada customer yang nota bene rakyat biasa. Selama ini rakyat telah dibebani dengan berbagai pajak dan pungutan, baik oleh Pemerintah pusat maupun daerah. Anggaran kantong plastik ramah lingkungan tidaklah seberapa, teknologinya juga sudah tersedia. Ketimbang APBN negara dikorupsi para pejabat dan birokrat, alangkah lebih bermaslahat jika itu dialokasikan untuk kepentingan rakyat, contohnya untuk Alokasi penyediaan kantong plastik ramah lingkungan.
Namun demikian, rasanya itu tidak mungkin bisa diharapkan dari penguasa dalam sistem sekuler yang dalam menjalankan kekuasaannya tidak amanah, digunakan untuk tujuan kepentingan materi kelompok dan golongannya. Pemberian pelayanan paripurna, penuh kesabaran dan keadilan, hanya bisa diberikan oleh penguasa yang menerapkan syariah secara paripurna. Dan itu hanya ada dalam sistem Khilafah. Wallahu 'alam bi ash Showab [].
Oleh : Abu Jaisy al Askary
#Kebijakan Sampah dari Rezim Sampah : memalak dan membebani Rakyat!
Sore tadi saya belanja ke salah satu toko ritel, di meja kasir tertulis program Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) untuk pengendalian sampah. Customer diminta untuk membawa kantong atau tas belanja sendiri untuk membawa barang belanjaan, atau jika tetap menggunakan plastik yang disediakan toko ritel, customer dibebankan biaya (baca: japrem) sebesar Rp.200,-/kantong plastik.
Persoalannya bukan pada nilai yang cuma 200 perak, tetapi pada pendzaliman yang dilakukan penguasa melalui penerapan kebijakan (baca: ketidakbijaksanaan) pungutan pengganti kantong plastik.
Dengan kebijakan ini, Pemerintah berdalih diharapkan dapat mendorong pengendalian sampah, dimana perilaku customer akan diarahkan melakukan tindakan yang "ramah lingkungan" sekaligus efisien. Jika sekali belanja, menggunakan atau 4 kantong, sudah ada Alokasi ABRT (anggaran belanja rumah tangga) sebesar 800 rupiah. Jika Trend belanja seminggu minimal 4 kali, maka per bulan akan ada tambahan sebesar 400X4X4= Rp. 6.200,-.
Bagi Pemerintah, perilaku konsumen dalam kondisi apapun tetap menguntungkan. Pertama, jika dengan alasan efisiensi konsumen mau repot bawa tas belanja, sehingga menekan penggunaan kantong plastik, maka ini akan mendorong suksesnya pengendalian sampah plastik sehingga ramah lingkungan. Kedua, jika konsumen karena tidak mau repot -toh hanya 200 perak- kemudian perilaku belanja tetap menggunakan kantong plastik, maka negara akan memperoleh tambahan anggaran dari kompensasi penggunaan kantong plastik untuk mensukseskan program ramah lingkungan.
Dan pada akhirnya, kondisi kedua yg akan terjadi dimana pada akhirnya rakyat (baca: customer) menyerah pada kebijakan tersebut dengan terpaksa membayar japrem yang besarnya Rp. 200 / kantong.
Kasus ini mirip dengan kebijakan pungutan untuk dana Ketahanan energi, yang pernah di gulirkan kementrian ESDM yg akhirnya batal karena ditentang banyak pihak.
Kebijakan yang Dzalim
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan sampah plastik berkurang hingga 1,9 ton dalam setahun melalui pelaksanaan kantong berbayar. Uji coba pelaksanaan program tersebut dilaksanakan serentak di 22 kota di Indonesia mulai 21 Februari 2016 yang bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional," kata Kepala Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK Sudirman seperti dikutip Antara, Sabtu (20/2/2016). Menurutnya produksi sampah nasional dalam setahun mencapai 64 juta ton berasal dari berbagai jenis. Sekitar 14% diantaranya merupakan sampah plastik yang beratnya setara dengan 8,9 juta ton. Pengurangan sampah plastik di klaim sejalan dengan Recana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pemerintah terkait pengurangan sampah nasional sekitar 11% pada tahun 2016.
Data-data yang disajikan seperti menjadi argumen kokoh untuk menetapkan pengaturan dan kebijakan, termasuk dalam hal penetapan pungutan pada pengguna kantong plastik.
Namun, jika dikaitkan dengan komponen penyumbang kerusakan lingkungan terbesar, Sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia ternyata lebih disebabkan oleh operasi pertambangan (kompas.com). Komponen yang lain yang tidak kalah besar sebagai penyumbang kerusakan lingkungan adalah pencemaran hutan.
Kasus-kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan baik dengan ijin atau liar, termasuk pencemaran hutan akibat kebakaran hutan atau yang selainnya tidak mendapatkan proporsi yang cukup untuk diambil tindakan dan sanksi tegas kepada pelanggarnya. Sebagaimana diketahui, belum lama ini kasus kebakaran hutan di Palembang divonis bebas hanya dengan dalih kebakaran hutan tidak merusak lingkungan karena masih dapat ditanami kembali. Sementara Seorang nenek di Situbondo bernama Asyani yang mengambil kayu bakar dihutan di vonis bersalah dan dihukum satu tahun penjara. Begitu juga kerusakan lingkungan akibat pertambangan. Kasusnya tidak terhitung lagi jumlahnya.
Namun penguasa seperti tidak memiliki nyali untuk menghukum dan memberi sanksi tegas kepada perusak lingkungan dari kalangan pejabat dan pengusaha, meskipun kerusakan yang ditimbulkan luar biasa besar dampaknya. Kepada rakyat kecil, penguasa bertindak tegas dan tega tanpa rasa bersalah menetapkan pungutan-pungutan yang semakin membebani hidup rakyat.
Kembali kepada syariat Islam, solusi tuntas mengelola urusan umat
Susungguhnya seorang pemimpin itu ibarat perisai yang melindungi rakyatnya. Kebijakan yang keluar harus dapat mengayomi sekaligus melindungi rakyat, selain mewujudkan pula kemaslahatan bersama. Syariah tidak pernah membiarkan tindakan seorang pemimpin yang Dzalim, dimana kebijakannya membebani rakyatnya.
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat ‘adzab yang pedih” [QS. Asy-Syuuraa : 42].
Secara khusus Rasulullah SAW pernah berdoa :
”Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia” [Diriwayatkan oleh Muslim].
Dalam konteks pengelolan sampah untuk melakukan pengendalian lingkungan hidup, seyogyanya penguasa mengeluarkan peraturan dan kebijakan yang benar-benar mencerminkan keadilan. Rakyat kecil yang sudah susah, tidak layak untuk dibebani berbagai pungutan dengan berbagai alasan.
Jika substansinya adalah pengendalian sampah plastik, seharusnya Pemerintah yang menyiapkan sarana sampah dengan teknologi tertentu yang dapat terurai dan tidak mencemari lingkungan, kemudian disediakan untuk rakyat di setiap toko ritel atau pasar umum, sehingga customer yang berbelanja tidak membawa tas belanja dapat menggunakan fasilitas kantong plastik ramah lingkungan yang telah disediakan.
Untuk anggaran pengendalian sampah, tidak layak pula dibebankan kepada customer yang nota bene rakyat biasa. Selama ini rakyat telah dibebani dengan berbagai pajak dan pungutan, baik oleh Pemerintah pusat maupun daerah. Anggaran kantong plastik ramah lingkungan tidaklah seberapa, teknologinya juga sudah tersedia. Ketimbang APBN negara dikorupsi para pejabat dan birokrat, alangkah lebih bermaslahat jika itu dialokasikan untuk kepentingan rakyat, contohnya untuk Alokasi penyediaan kantong plastik ramah lingkungan.
Namun demikian, rasanya itu tidak mungkin bisa diharapkan dari penguasa dalam sistem sekuler yang dalam menjalankan kekuasaannya tidak amanah, digunakan untuk tujuan kepentingan materi kelompok dan golongannya. Pemberian pelayanan paripurna, penuh kesabaran dan keadilan, hanya bisa diberikan oleh penguasa yang menerapkan syariah secara paripurna. Dan itu hanya ada dalam sistem Khilafah. Wallahu 'alam bi ash Showab [].
Silakan Copy Artikel yang ada di sini, tapi cantumkan sumbernya http://tolongshare.beritaislamterbaru.org